MOZAIK MENGAMBANG

Pameran on line bersama

Waktu : 5 September – 30  Oktober 2020

Peserta:  Wahidta Pangestu, Widi Wardani, Carla Agustian, Sani Saadah,  Rosalina Mumtaz

Kurator : Ardiyanto, M.Sn

Presetasi ini terdiri dari karya yang terstimulus dari berbagai persoalan yang disaksikan maupun yang dialami oleh para mahasiswa tingkat akir Dep. Pend Seni Rupa UPI angkatan 2016  di lingkungan sekitarnya secara sosial, budaya maupun spiritual. Tersaji melalui keragaman pendekatan kerja, stimulus gagasan, pilihan media-teknik dan subject matter. Mengasosiasikan pada mozaik pikiran sekaligus khayal yang mengambang, mengalir dan dipersatukan dalam langkah kreasi yang sistematis dan rinci.

Antara lain adanya kertertarikan pada aspek gerak dan perubahan pada kondisi alam, terutama keberadaan serta energy angin. Sesuatu yang sulit diprediksi dengan akurat, konstan, serta pasiti karena angin merupakan salah satu energi alam yang sangat dinamis. Berubah terus dan terkadang berbalik arah sewaktu-waktu . Kondisi ini menjadi stimulus penciptaan karya patung serat/ fiber dengan teknik rajut karya Sani S. Saadah. Ihwal kepastian sekaligus misteri, juga ketakutan menjadi stimulus spiritual berupa ihwal kematian, dualisme keseimbangan kehidupan yang ditempuh dengan kasatupaduan dua aspek yang berseberangan, seperti oposisi binner: kutub siang-malam, kini dan nanti, lahir dan batin, profan dan sakral, hidup dan mati, dalam presentasi ruang dan arsir hitam dan putih pada sejumlah karya dengan teknik gambar karya Carla Agustian. Terdapat ketertarikan pada apropriasi pd praktik berkarya seni rupa dengan mengaburkan struktur utama suatu karya yang menjadi acuan awalnya ditempuh pembesaran bagian kecil dari suatu karya (close up/ zoom) yang diwakili karya Widi Wardani. Presentasinya abstrak namun pada dasarnya realis. Kesan yang bias, samar dan ambigu bercampur didalamnya, sebuah pseudo aproriasi yang mengacu pada salah satu karya Vincent Van Gogh dan pembagian ruang atau bidang a’la Mark Rothko. Penyimpangan norma dalam praktik berbahasa sehari-hari antara sejumlah kata atau frasa yang berkonotasi sarkastik menjadi stimulus perupa ini.Namun kini, =’kata yang kasar menjadi alat untuk mendekatkan relasi antar personal dalam komunitas atau rekan sebaya. Pilihan diksi  yang menjadi media pengakuan kelompok sebaya melalui produksi bahasa sebagai bagian dari sub kultur. Praktik yang awalnya dikalangan anak muda ini tersaji pada karya Rosalina Mumtaz. Diksi yang kasar dan tidak normatif semakin melebur menjadi suatu yang diterima dan lambat laun melintas lintas golongan, juga antar usia. Ujaran pamali yang pantang diucapkan serta kehilangan auranya dalam representasi binatang dan figur sekaligus. Wahidta Pangestu mepreretasikan kekaguman, kerinduan, penghirmatan pada sosok Ibu dang ingin membagikan sifat dan nilai kejuangan hidup pada generasi sebaya sebagai bahan inspirasi. Ia tidak lupa melakukan pendekatan riset untuk menghasilkan kode personal secara visual yang dibagun pada karyanya. Disamping meleburkan dan menyatukan sekaligu dimensi ekspresi personal pada  sen murni dan bobot craftsmanship pada seni kriya yang terinspirasi permainan ruang (multi laywers) serta wujud mainan anak saat kecil dulu