Estetika Dalam Retorika, Public Art Stage #1 Buka Mata Mahasiswa Untuk Melek Isu Sosial

Oleh : Aditya Nugraha (1806773)

Mahasiswa berpakaian nuansa hitam dan merah maroon di lapangan gedung lama Fakultas Pendidikan Seni dan Desain (FPSD) sibuk menyiapkan sebuah acara dengan konten mengkritik sistem birokrat di tingkat fakultas maupun jurusan dengan berkesenian, pada Rabu (11/12). Panggung bebas terbuka untuk siapapun yang ingin menyampaikan aspirasi maupun solusi untuk FPSD yang lebih maju. Acara ini dihadiri oleh seluruh mahasiswa FPSD dari tiap-tiap program studi dan beberapa perwakilan dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), BEM REMA, dan presiden BEM Fakultas dari tiap fakultas yang ada di UPI.

Momen ini menjadi silaturahmi bagi seluruh jurusan yang ada di FPSD, yakni Pendidikan Seni Rupa, Pendidikan Seni Tari, Pendidikan Seni Musik, Desain Komunikasi Visual (DKV), dan Film dan Televisi (FTV). Event ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat FPSD saja, Public Art Stage kedatangan tamu unit kegiatan mahasiswa Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) dan mahasiswa Sains dan Geografi dari Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS). Tiap jurusan dan tamu memberikan satu sampai dua penampil untuk acara ini. Suasana lapangan tersebut nampak ramai sejak pukul 16.30 WIB ditambah adanya stand bazzar yang berisi jajanan murah yang menggugah selera seperti bakso pentol, burger, es teh manis, dan sebagainya.

Acara dimulai dengan sambutan dari ketua pelaksana, mahasiswa pendidikan seni musik UPI 2018, Aditya Nugraha. “Saya harap semua dapat menikmati sajian dari para penampil, enjoy dengan segala konten yang ada, dan dapat memahami isi dari kritik para performer. Penonton dipersilahkan maju kedepan apabila ingin mengutarakan aspirasinya” Ujar Aditya. Dilanjut dengan sambutan dari ketua SEMA FPSD, mahasiswa seni rupa 2016, Irving Gustav S. dan  acara ini dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Dr. Dadang Sulaeman, S.Pd, M.Sn. “Seperti yang kita tahu, mahasiswa merupakan pionir dari aspirasi bangsa. Maka dari itu, saya berharap kalian (mahasiswa) bisa kritis dan selalu melek isu politik.” Ujar Dadang.

Penampil pertama, dibuka oleh Mariana, mahasiswa seni rupa UPI. Menampilkan performance art, Mariana sukses membuat penonton antusias penasaran. Mariana berlari kesana kemari membawa gulungan kertas, melompati penonton, berganti-ganti baju dan membelit dirinya dengan gulungan kertas tanpa adanya dialog, maupun musik iringan. Semua berlangsung sunyi, hanya ada suara penonton yang kebingungan dan hembusan angin. Setelah selesai, Mariana menjelaskan makna penampilannya tersebut. “Jadi saya ingin mengutarakan bahwa sekarang kuliah menjadi tidak menyenangkan. Mahasiswa seakan terikat dan harus patuh terhadap segala ketentuan. Ekplorasi dan kreatifitas dibatasi, sehingga membuat mahasiswa semakin tenggelam dalam kepasrahan.” Ujar Mariana. Penonton riuh bertepuk tangan dan bersorak karena perasaan mereka sudah terwakili dengan performance art oleh Mariana.

Penampilan kedua merupakan solo dance dari Ratu Kachita, mahasiswi pendidikan seni tari 2017 yang merupakan bagian dari grup Chee-U. Ratu menampilkan tari modern dengan format solo dan berhasil memukau dengan gerakan indahnya. Ditengah pertunjukan, Ratu melempar uang recehan yang membuat penonton merasa disawer namun bukan itu yang dimaksudkan Ratu. “Mahasiswa seni itukan banyak pagelaran, terutama tari dan musik. Namun, para birokrat tidak pernah memenuhi fasilitas dan dana untuk menunjang itu semua. Padahal, pagelaran ini merupakan ajang mahasiswa seni untuk semakin berkembang dan demi mendapatkan nilai perkuliahan pula.” Ujar Ratu.

Dilanjutkan dengan sesi diskusi dua arah antara perwakilan organisasi mahasiswa tingkat fakultas, yakni ketua SEMA FPSD, Irving Gustav S. dan Ratu Kachita sebagai perwakilan dari talent, lalu perwakilan dari BEM REMA UPI, diwakilkan langsung oleh presiden mahasiswa, Rexzi Adi Prabowo, dengan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Dr. Dadang Sulaeman, S.Pd, M.Sn. Ketiga pihak saling beradu argumen dan meng-klarifikasi masalah yang dihadapi oleh FPSD selama beberapa tahun kebelakang. Presiden Mahasiswa menjadi penengah dari sesi debat dan memberikan solusi untuk seluruh mahasiswa FPSD. “Semua kebijakan fakultas sudah sangat menguntungkan mahasiswanya. Meskipun saya tidak memiliki wilayah yang luas di lingkungan FPSD, mari kita kawal bersama proses yang akan dibangun di fakultas ini serta perbaikan birokrasi yang sekiranya merugikan mahasiswanya” Ujar Rexzi.

Setelah break adzan maghrib, penampilan dilanjut oleh grup band asal program studi pendidikan seni musik yang bernama Johnny Sherrif. Dengan ritme yang cepat, membuat siapapun ingin bermoshing ria dan berteriak. Lagu yang dibawakan, didedikasikan untuk sahabat dari para personil Johnny Sherrif yang tidak bisa melanjutkan kuliahnya karena faktor ekonomi. Dilanjut dengan penampilan dari OMPONG , perwakilan dari FPIPS yang membawakan lagu “Individu Merdeka” dari Seringai yang dikemas secara orkes dangdut. Semua penonton bergoyang bersama dan bernyanyi. “Lagu ini kami persembahkan untuk para masyarakat FPSD, yang dikekang kebebasannya dalam berkesenian, Hidup Mahasiswa!” Ujar Ketua Senat FPIPS, Agung Purnomo.

Dilanjutkan dengan pemutaran film dari program studi film dan televisi (FTV). Film yang berdurasi sekitar 15 menit menceritakan tentang kondisi dan situasi angkatan dari program studi FTV sendiri. Dimana mahasiswa kesulitan untuk berorganisasi dan menyatukan persepsi karena FTV merupakan jurusan paling muda di FPSD. Lalu dilanjutkan penampilan dari performance art dari mahasiswa pendidikan seni rupa 2018. “Performance art ini salah satu yang unik. Soalnya baru kali ini saya perform menyindir langsung kepada fakultas dan dosen saya sendiri. Intinya segala sesuatunya harus dibenahi, jangan ada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme didalam kampus.” Ujar Donny.

Unit kegiatan mahasiswa, ASAS berhasil menghipnotis penonton dengan pembacaan puisi yang diiringi oleh musik dan interpretasi dari gestur. Sajak yang dalam dan menyayat hati membuat siapapun yang menontonnya terharu. Puisi yang dibawakan menceritakan tentang birokrat  yang selalu menyepelekan urusan mahasiswanya. Orkes Haji Albert menjadi penutup yang pas. Dengan musik koplo, semua panitia dan penonton berjoget bersama dan bernyanyi. Lagu yang dibawakan pun memiliki unsur kritik UKT yang mahal. Pada hari itu, semua mahasiswa FPSD menyadari pentingnya melek isu sosial dan tidak perlu berdemonstrasi, tapi bisa juga dengan ala mahasiswa seni, yaitu berkesenian.